top of page

Film Orde Baru & Kritik Sosial Terhadap Kehidupan Kota

  • Writer: Khoirul Akmal W
    Khoirul Akmal W
  • Dec 26, 2022
  • 5 min read


Pemerintahan Orde Baru seakan tak bisa dilepaskan dari pembangunan. Beragam kebijakan dan program kerja telah dilakukan mulai dari yang berkelanjutan seperti Repelita, hingga yang menargetkan sektor agrikultur berupa Revolusi Hijau. Sebagaimana pemerintahan lain di dunia, pembangunan Orde Baru juga sebagian besar berpusat pada satu ruang spasial berupa kota. Disadari atau tidak, kota, bagi pemerintah Orde Baru adalah landmark dari pembangunan nasional serta modernitas.


Pentingnya citra kota dalam ideologi pembangunan Orba terlihat jelas dalam pembangunan mega proyek Taman Mini Indonesia Indah. Dalam tulisannya yang berjudul City and desire in Indonesian cinema, Intan (2011) memaparkan bahwa TMII menjadi contoh dekatnya hubungan citra progresif kota dalam aspek pembangunan ekonomi dengan bentuk warisan budaya Indonesia. Selain itu, TMII juga menunjukkan betapa pentingnya budaya visual dalam mempertontonkan identitas bangsa yang ideal pada dunia.


Tentu saja ada beraneka ragam budaya visual yang dimanfaatkan. Mulai dari museum, monumen, televisi, hingga film. Khusus untuk film, menurut Intan, mendapat tempat yang spesial karena secara ketat berada di bawah domain negara lewat penyensoran dan pemanfaatan sebagai media propaganda.


Sederet film yang diproduksi Perusahaan Film Negara bisa dibilang masuk dalam kategori media propaganda. Isi film-film tersebut tentu saja menampilkan citra ideal dan stabil dari negara yang kental dengan ideologi pembangunan nasional.


Bayangan kuasa sensor, iklim politik yang represif, dan gempuran film propaganda sejatinya tak mampu memadamkan api kritik yang dipunya sineas Indonesia kala itu. Beberapa sineas kawakan seperti Teguh Karya, Nya Abbas Akub, ataupun Syumanjaya terbukti mampu menghasilkan karya-karya dengan konten ciamik.


Kritik tajam sudah pasti tidak luput dari motif kuat. Bagi para sineas masa Orde Baru, motif yang melatarbelakangi tindakan mereka adalah kepentingan untuk menyodorkan “wajah asli” Indonesia. Wajah asli yang jauh dari kilap gemilang stabilitas, pembangunan, atau gotong royong masyarakatnya.


Satu dari sekian cara mereka dalam mengungkap wajah asli Indonesia adalah dengan mengekspos masalah yang terjadi di kota. Sebab mereka tahu kegemilangan kota tidak datang tanpa cela. Di balik gemerlapnya lampu-lampu kota dan menjulangnya gedung baru tersimpan wajah asli Indonesia. Wajah asli yang mengandung sekumpulan masalah dan kebobrokan yang merentang dari krisis sosial-budaya, ketimpangan, hingga kemiskinan yang menjalin jadi satu.




Secangkir Kopi Pahit: Bayangan dan Realita Menjadi Perantau di Kota Besar


Film yang dibintangi oleh Rina Hasyim dan Alex Komang ini dirilis pada 1985. Ia menceritakan kisah perjuangan para perantau di kota besar terutama Jakarta. Dalam film itu, Teguh Karya mengangkat isu-isu sosial yang sarat kepentingan nasional dan global termasuk migrasi penduduk dari daerah desa ke ibu kota negara, sekaligus metropolitan yang terus membesar, yakni Jakarta.


Saat perilisannya, film ini dianggap sebagai film yang memalukan bagi Indonesia oleh beberapa anggota Dewan Film Nasional. Bahkan mereka berharap film tersebut tidak ditayangkan di luar negeri.


Narasi film yang coba dirajut dalam film itu adalah pada pengalaman seorang pemuda Batak yang merantau ke Jakarta untuk mencari kehidupan lebih baik. Dalam perjalanannya, film ini mengekspos pula kehidupan perantau lain di Jakarta.


Secangkir Kopi Pahit menggambarkan pengalaman seseorang perantau muda, dan segala tekanan yang dibebankan kepadanya oleh semua orang di kota. Dalam film itu ditampilkan eksploitasi yang telah menjadi makanan sehari-hari baik bagi penjaga warung, pekerja kasar, hingga buruh di dalam kota.


Selain eksploitasi, dan ekspektasi tak rasional, perantau juga harus menghadapi kesendirian tanpa teman pendamping sesamanya. Kebersamaan yang diidam-idamkan oleh para perantau nyatanya bukan merupakan hal yang umum. Momen keterasingan di tanah seberang ini terlihat saat Togar, sang karakter utama, meminta tolong pada Mangara agar diizinkan tinggal bersama. Reaksi penolakan diberikan oleh Mangara sembari berkata “Di Jakarta, kita tidak bisa saling membantu”.


Selain mengangkat isu ketidakadilan sosial, Secangkir Kopi Pahit turut mampu memberikan gambaran eksploitasi anak muda dari penjuru Indonesia saat mengadu nasib di Jakarta. Teknik yang dipakai oleh Teguh Karya juga patut disorot sebab ia mempertegas cita rasa realisme dari masyarakat kota di dalam film. Pengalaman para perantau miskin di Ibu Kota dihadirkan melalui serangkaian pilihan sinematik berupa pengambilan setting lokasi yang luas di daerah kumuh dan industri padat penduduk, struktur kilas balik yang penuh kerumunan dengan tujuan untuk meniru padatnya pengalaman sang karakter, dan terakhir banyaknya foto-foto perkotaan yang diambil Togar dan kemudian dirangkai menjadi satu dalam poin penting film.


Pada akhirnya, pengalaman sulit para perantau di Jakarta terpotret dengan baik dalam film ini.




Si Doel dan Kegelisahan Warga Lokal di Tengah Kota


Kota tak hanya menjadi mimpi buruk bagi para perantau sebagaimana yang dapat dilihat dalam film garapan Teguh Karya. Lebih jauh dari itu, permasalahan kota juga dirasakan oleh masyarakat lokal. Keresahan terdalam warga seperti perubahan sosial-budaya, hilangnya identitas lokal, dan ketidakmampuan bersaing merupakan dampak ekses pembangunan yang teramat pesat.


Satu film yang menggambarkan kegelisahan masyarakat lokal kota barangkali adalah Si Doel Anak Modern, garapan Syumanjaya pada 1978. Film tersebut dimulai di sebuah desa urban Jakarta dengan tokoh utamanya Doel yang hidup di tengah nilai-nilai tradisional khas Betawi yang kental. Seiring berjalannya film, muncullah sebuah gangguan dari luar berupa kehadiran karakter perempuan bernama Kristin.


Pemerhati sekaligus pegiat film Indonesia kontemporer, Eric Sasono (2008), memandang karakter perempuan yang dihadirkan dalam film Si Doel sebagai representasi dari modernitas. “Perempuan itu mewakili modernitas, (sekaligus wajah -ed) Jakarta baru….. Jakarta yang baru sudah terbiasa dengan bentuk modernitas yang jorok, licik, nakal, berbau narkotika dan seks (keduanya jahat), serta dunia mode yang mengganggu.” tulisnya dalam The sketches of Jakarta in Indonesian films.


Pertemuannya dengan Kristin inilah yang menyadarkan Doel akan wajah lain dari Jakarta. Imaji utopis masa kanak-kanaknya akan kota metropolitan sesaat lenyap digantikan eksotisme wajah lain Jakarta yang ditawarkan Kristin.


Terganggunya harmoni budaya Betawi dalam kehidupan Doel inilah yang berusaha dieksplor oleh Syumanjaya. Si Doel terbukti mampu menyorot ketidakmampuan warga lokal kota dalam mempertahankan identitasnya saat kriteria mereka didikte oleh modernitas.


ironi ketidakmampuan orang-orang seperti Doel untuk mempertahankan identitas diri ketika berusaha memenuhi kriteria yang didikte oleh ekspektasi baru bernama modernitas. Identitas Doel sebagai pemuda Betawi direfleksikan dengan baik oleh Sjumandjaja dalam film ini. Ia mampu menyampaikan keprihatinan pribadinya atas ketidakmampuan penduduk asli Jakarta beradaptasi secara substansial dengan pertumbuhan modernitas.




Getir Warga Kota Dalam Kelakar Film Nya Abbas Akub


Kemalangan warga kota kelas bawah tidak selamanya harus dibingkai dalam film serius nan tajam. Kadang kala sebuah komedi yang konyol lebih cocok dalam mengungkapkan permasalahan mereka. Pendekatan semacam inilah yang digunakan oleh Nya Abbas Akub, seorang pelopor film komedi Indonesia, dalam filmnya.


Filmnya yang berjudul Inem Pelayan Sexy (1976) merupakan satu dari sekian buah karyanya yang digemari penonton layar perak Indonesia. Film yang menyabet penghargaan FFI 1978 tersebut mampu mengkritik fenomena tumbuh suburnya kelas menengah baru di kota. Kelas sosial baru ini nyatanya masih mempertahankan status modern yang telah diperoleh melalui eksploitasi feodal terhadap pembantu atau pelayan mereka.


Secara halus, Nya Abbas menyindir hipokrisi yang diderita warga kota. Batubara, dalam artikelnya yang berjudul Sikap Berkesenian Nyak Abbas Akup: Mencubit Tanpa Sakit, Menegur Tanpa Amarah (1991) memandang film ini juga berkelindan erat dengan kemiskinan struktural yang menjalar di kota.


“Lewat film ini, Nyak Abbas nampak sekali ingin memperlihatkan, betapa ketertindasan yang berlaku terhadap tokoh semacam Inem pada dasarnya bukan semata-mata karena sudah suratan takdir. Tapi, karena tatanan kehidupan masyarakatlah yang menjadikannya demikian,” tulis Batubara.


Referensi:


Guneratne, A. R., Dissanayake, W., & Chakravarty, S. S. (2004). Rethinking Third Cinema. Ebrary.

Hanan, D. (2017). Cultural Specificity in Indonesian Film. Springer International Publishing. https://doi.org/10.1007/978-3-319-40874-3

Hanan, D. (2021). Moments in Indonesian Film History: Film and Popular Culture in a Developing Society 1950–2020. Springer International Publishing. https://doi.org/10.1007/978-3-030-72613-3

Nowell-Smith, G., & Hanan, D. (Eds.). (1997). Indonesian Cinema. In The Oxford history of world cinema: The definitive history of cinema worldwide (1. publ. in paperback, [reprint.]). Oxford Univ. Press.

Paramaditha, I. (2011). City and desire in Indonesian cinema. Inter-Asia Cultural Studies, 12(4), 500–512. https://doi.org/10.1080/14649373.2011.603915

Soehadi, G. (2015). Teguh Karya: A Film Auteur Working Within a Collective [Thesis]. Monash University.

Soehadi, G. (2018). In the Shadow of Jakarta City, Migrants and Exploitation in Secangkir Kopi Pahit. Komunikator, 10(2). https://doi.org/10.18196/jkm.101009

Comments


  • Grey Twitter Icon
  • Grey Instagram Icon

© 2022 by Khoirul Akmal

bottom of page