Sejarah Ruko: Melampaui Bisnis dan Hunian Usang
- Khoirul Akmal W
- Jun 11, 2022
- 9 min read

Jejak perdagangan maritim dalam persebaran awal Ruko
Ruko adalah salah satu bangunan yang tak sulit untuk dijumpai di Asia Tenggara. Ruko paling awal diperkirakan berkembang di provinsi pesisir Guangdong dan Fujian di Tiongkok. Tersebarnya bangunan ini terkait dengan perdagangan maritim antara negeri Tiongkok dan negara-negara Asia Tenggara. Jaringan perdagangan maritim yang berkembang pesat setidaknya sejak abad ke 10 telah membawa juga para imigran Tionghoa untuk menetap di wilayah Asia Tenggara.
Imigran Tionghoa yang sebagian berprofesi sebagai pedagang ini kemudian mulai membuat bangunan yang menjadi cikal bakal ruko. Bangunan yang ditujukan untuk mendukung bisnis mereka tersebut seringkali merupakan hasil percampuran antara bentuk Tionghoa, lokal, dan Eropa.
Percampuran antara berbagai unsur budaya masyarakat terhadap bentuk ruko dapat dilihat di beberapa daerah di Asia Tenggara.

Di Semenanjung Malaya misalnya, ruko yang dibangun para imigran Tionghoa dalam bentuknya yang palilng awal hanya sebatas struktur gabungan dinding sederhana yang tidak mempunyai dinding depan dan penghuninya akan tidur di belakang toko atau di loteng yang berada tepat di bawah atap. Perkembangan lebih lanjut dari versi awal ini dapat ditemui di kota-kota besar, dimana ruko mulai menggabungkan ide dan motif khas Eropa pada fasad mereka.
Ruko juga dibangun di kota-kota Asia Tenggara lainnya seperti Penang, Hanoi, Hoi An dan banyak lainnya. Biasanya keberadaan bangunan ini terkait dengan pendirian pos dagang orang Eropa yang secara otomatis menarik datangnya para pedagang Tionghoa.
Satu tempat yang penting untuk dilihat terkait keberadaan ruko di Asia Tenggara adalah Singapura. Berkembangnya bentuk bangunan ruko yang khas Asia Tenggara di wilayah itu adalah penyebabnya.
Para imigran Tionghoa yang berdagang di Singapura mulai membangun ruko yang merupakan percampuran antara rumah bertingkat ala Inggris dengan arsitektur bangunan di kota-kota perdagangan pesisir Cina Selatan.
Perkembangan berikutnya yang cukup krusial ialah penerapan peraturan Raffles terkait ruko di Singapura. Pada tahun 1823, Sir Stamford Raffles, sebagai pemegang pemerintahan Inggris di Singapura, menerapkan peraturan bangunan yang ketat terkait ruko. Peraturan ini lah yang di kemudian hari menjadi model untuk ruko di seluruh Asia Tenggara.
Peraturan yang diciptakan Raffles mengatur syarat-syarat pembangunan ruko. Syarat tersebut diantaranya adalah penggunaan konstruksi bata (sampai saat itu masih sering ditemui ruko yang terbuat dari kayu), bagian depan seragam, dan kewajiban untuk membuat arsitektur arcade (gang beratap) yang kemudian dihubungkan dengan bangunan lain. Arsitektur arcade ini lah yang nantinya menjadi salah satu ciri khas dari ruko di Asia Tenggara. Arcade yang luasnya diatur sebesar lima kaki di bagian depan toko kemudian mulai dikenal sebagai “jalan kaki lima” oleh masyarakat sekitar.

Tujuan awal diberlakukannya trotoar sepanjang lima kaki ini adalah untuk melindungi pejalan kaki dari panas matahari tropis serta hujan dan angin. Namun, seiring dengan masuknya imigran yang kesulitan mendapat pekerjaan, bagian depan ruko ini pun mulai dimanfaatkan sebagai tempat usaha kecil. Para pedagang kecil ini biasanya mematok harga yang murah dan memiliki jam kerja fleksibel.

Keberadaan pedagang di “jalan kaki lima” ini lah yang kemudian menjadi cikal bakal bagi istilah pedagang kaki lima. Interaksi yang terjadi antara pedagang dan pembeli, atau pedagang dengan sesama pedagang yang berada di deretan ruko menjadi satu pendorong atas tumbuhnya ruang “kaki lima” menjadi pusat kegiatan sosial dan budaya.
Ruko-ruko versi selanjutnya tetap mempertahankan pengaturan Raffles tadi, namun dengan perkembangan berupa bangunan yang lebih lebar dan tinggi, serta facade yang mulai mencerminkan gaya bangunan kontemporer.
Jika di Asia Tenggara perkembangan dan persebaran ruko terkait erat dengan kekuatan kolonial dan budaya setempat, bagaimana dengan di Indonesia?
Awal mula persebaran ruko di Indonesia sendiri sebenarnya masih menjadi topik perdebatan antara sejarawan satu dengan yang lain. Beberapa menunjukkan bahwa bangunan itu berevolusi akibat percepatan urbanisasi di abad kesembilan belas, sementara yang lainnya percaya bahwa proses itu jauh lebih tua.
Sejarawan arsitektur, Johannes Widodo, mengemukakan bahwa di Pelabuhan Deli dekat Medan, telah ditemukan jejak pemukiman Tionghoa asli yang kemungkinan dibangun pada abad ke 19. Bangunan itu menyerupai bentuk sebuah ruko dengan atap khas arsitektur Tionghoa. Sementara itu, Susan Blackburn, menuturkan bahwa di Batavia sejak abad ke 18 orang Tionghoa telah banyak membuat bangunan semacam ruko. Bangunan yang mereka buat itu adalah percampuran antara arsitektur Eropa dengan rumah toko tradisional di Tiongkok Selatan dengan berbagai ciri khas seperti bubungan atap yang melengkung ke atas. Sebelum pemberlakuan wilayah khusus semacam pecinan di Batavia pada 1740, bangunan ini mungkin dapat ditemui di seantero kota.

Berbagai hasil kajian di atas menunjukkan bahwa ruko yang berasal dari pantai selatan Tiongkok mulai menyebar ke wilayah Asia Tenggara hingga Indonesia melalui difusi budaya yang dibawa oleh para imigran Tionghoa awal ke wilayah tersebut. Perkembangan bentuk bangunan ini kemudian juga terkait dengan fenomena segregasi di ruang kota kolonial.
Ciri tata perkotaan kolonial yang mengatur penataan wilayah berdasarkan etnis memaksa etnis Tionghoa untuk menempati distrik terpisah. Kebijakan segregasi ruang kota tadi ikut berperan dalam menciptakan daerah pecinan yang seringkali dipenuhi oleh ruko. Pada abad kesembilan belas, ruko telah menjadi bangunan ikonik yang diasosiasikan dengan masifnya populasi Tionghoa di satu wilayah.
Perubahan Bentuk Ruko di Indonesia: Tentang Memori Kolektif Tionghoa dan Harmoni Masyarakat Kolonial
Bentuk ruko yang kita kenal hari ini tentu berbeda dengan di masa lalu. Perubahan yang terjadi baik kepada ruang maupun bentuk arsitektur ruko dapat dilacak lewat konteks sosial politik di mana ruko itu berada. Evolusi ruko di Indonesia dari satu lantai ke dua lantai atau lebih adalah salah satu contoh.

Melansir Abidin Kusno dari buku Visual Cultures of the Ethnic Chinese in Indonesia, sebagian besar studi tentang arsitektur ruko menunjukkan bahwa kemunculan ruko dua lantai sebagian besar merupakan proses yang terjadi secara anonim dalam transformasi perkotaan yang berakar dari cepatnya laju urbanisasi, peningkatan kepadatan penduduk dan kelangkaan lahan.
Kemunculan ruko dua lantai yang dikaitkan dengan masalah-masalah perkotaan modern tadi bukanlah satu-satunya cara pandang yang bisa dipakai. Kita juga dapat mempertimbangkan sejarah kekerasan terhadap etnis Tionghoa sebagai dasar untuk mengadopsi struktur ruko yang ditinggikan.
Abidin Kusno dalam buku yang sama juga mengutip pandangan Rudolf Mrazek terkait studinya mengenai rumah-rumah di Hindia Belanda. Bagi Mrazek, rumah dua lantai di Indonesia pada masa kolonial mungkin berasal dari tindakan pengamanan terhadap ancaman eksternal yang dilakukan oleh komunitas Tionghoa. Mrazek melihat bahwa “tempat tinggal dengan keamanan yang dibangun secara meninggi di atas tanah” sebagai respons terhadap “lingkungan yang anti-Cina yang selalu tidak dapat diprediksi dan seringkali terjadi”.
Awal abad 20 menandai perubahan baru bagi tata kota di Indonesia. Pada tahun 1930-an, arsitek terkenal Belanda, Thomas Karsten mulai memperkenalkan perencanaan kota modern di Hindia Belanda.
Perencanaan tersebut meninggalkan konsep lawas berupa keberadaan sekat-sekat wilayah berdasarkan etnis (pemukiman khusus Eropa, Cina, Pribumi, dan seterusnya). Konsep tata kota semacam ini biasanya mengakibatkan kesenjangan yang cukup signifikan antara hunian orang Eropa dengan etnis lain.
Hilangnya sekat-sekat wilayah atas dasar etnis mendorong beberapa orang Tionghoa kaya untuk pindah ke wilayah pinggiran kota (suburban) yang didominasi kulit putih. Namun, perpindahan ini tidak banyak mengubah bangunan serta tradisi sosial dari ruko.
Ruko orang Tionghoa terus ditandai dengan konsep multiguna berupa lantai bawah untuk bekerja dan lantai atas untuk tinggal. Namun, tradisi sosial ini menurut Abidin Kusno justru membentuk satu identitas bipolar bagi etnis Tionghoa. Identitas itu menegaskan etnis Tionghoa yang di satu sisi bertindak sebagai borjuis komersial (yang terlibat dengan ekonomi jalanan) dan di sisi lain ditempatkan sebagai ras minoritas (hidup di atas tanah sebagai pengungsi dari kekerasan anti-Tionghoa).
Beberapa penjelasan di atas menunjukkan bahwa perubahan bentuk ruko di Indonesia tidak sekadar bentuk respon atas masalah perkotaan modern. Lebih jauh dari itu, ia terkait erat dengan memori kolektif etnis Tionghoa atas kekerasan yang menimpa mereka.
Namun, apakah memori kolektif itu hanya terbatas pada kekerasan saja? Apakah tidak ada memori kolektif yang menandai harmoni antara etnis Tionghoa dengan masyarakat setempat?
Pada kenyataannya, kehidupan sosial di masa kolonial jauh lebih cair dalam hal kontak sosial dan budaya. Kontak sosial dan budaya tetap terjadi secara intens antar kelompok di masyarakat meskipun hunian mereka tersekat-sekat berdasarkan etnis. Tradisi interaksi antarbudaya yang intens dan telah berlangsung sejak masa pra-kolonial telah terbukti berhasil melokalisasi ruko dengan berbagai cara.
Ekspresi arsitektur ruko antara lain dapat dilihat dari dimasukkannya unsur-unsur bangunan dari arsitektur Belanda, India, Arab, Jawa, dan Melayu. Selain dalam unsur arsitektur, ruko juga berhasil menyerap unsur budaya lain dalam unsur kepercayaan.

Keberadaan persembahan kepada “Datuk Kong” pada ruko-ruko di Malaysia, Singapura, hingga Indonesia menunjukkan bahwa praktik kepercayaan lokal turut meresap ke dalam ruko yang sekilas tampak asing. Datuk Kong sendiri adalah dewa penjaga dari budaya Melayu yang biasanya digambarkan sebagai seorang lelaki Melayu dengan pakaian Melayu tradisional, memakai songkok, dan membawa keris.
Dengan mengadopsi praktik budaya lokal serta menyesuaikan dengan gaya modis yang sesuai semangat zaman, ruko dapat bertahan di lingkungan sosial politik yang berbeda.
Pada akhirnya, perubahan ruko menggambarkan bagaimana interaksi antar kelompok masyarakat tak hanya menghasilkan luka sebagaimana memori kolektif kekerasan yang diemban etnis Tionghoa. Interaksi itu nyatanya juga menunjukkan keberadaan harmoni atas kehadiran berbagai unsur budaya masyarakat lain yang berbeda.
Masalah kota hari ini
Kota hari ini telah tumbuh dan berkembang sedemikian pesat. Namun, apakah pertumbuhan itu mampu memenuhi kebutuhan dan kenyamanan warganya?
Pertanyaan di atas nampaknya dapat dijawab jika kita melihat kembali tren pembangunan di kota-kota Asia Tenggara secara seksama. Anhara, dalam artikelnya yang berjudul The southeast asian shophouse as a model for sustainable urban environments, menemukan bahwa perumahan-perumahan baru untuk warga kota berpenghasilan rendah di Asia Tenggara cenderung menjadi flat bertingkat tinggi atau walkup bertingkat dengan sedikit atau tanpa ruang komersial.

Lingkungan semacam itu membawa sejumlah masalah bagi warga kota, karena mereka impersonal, monoton dan membosankan, serta tidak memberikan banyak ruang untuk ekspresi individu, perluasan atau personalisasi tempat tinggal. Dalam tren pembangunan semacam ini, terdapat pemisahan jelas antara aktivitas residensial dan komersial.
Pemisahan aktivitas sebagaimana yang dilakukan di masa kini memerlukan pengawasan yang ketat dan konstan. Kelengahan pengawasan akan menyebabkan ruang terbuka di sekitar area perumahan ditempati oleh aktivitas komersial yang tidak sah.
Permasalahan modern kota di atas sepertinya dapat dijawab menggunakan solusi dari masa lalu, yakni ruko tradisional yang berkembang sejak pertengahan abad ke 19 hingga awal abad 20.
Tetapi, mengapa kita perlu menengok ke ruko tradisional yang berjarak satu abad dari masa kini? Bukankah sekarang telah ditemui ruko modern di berbagai tempat yang dianggap mampu pula menyelesaikan masalah kota di atas?

Memang benar, bahwa kini kita telah melihat ruko-ruko baru dibangun di seantero Asia Tenggara. Namun, sayangnya ruko tersebut tidak menerapkan arsitektur tradisional, sehingga desain baru mereka tidak memiliki fleksibilitas untuk ekspresi pribadi penghuninya. Ruko-ruko modern ini juga merespons secara buruk iklim lokal dan tidak peka terhadap kebutuhan pejalan kaki. Selain itu, perkembangan ruko ini juga lebih diarahkan sebagai mega blok dibanding deretan bangunan individu yang terhubung.
Pada akhirnya, ruko modern di atas hanya hasil dari upaya meniru arsitektur bangunan kota tradisional, tanpa memahami secara serius karakteristik esensial tipe bangunan tersebut.
Ruko tradisional sebagai solusi dari masa lalu untuk masalah kota hari ini
Pemisahan aktivitas sebagaimana dijelaskan di atas sulit menemui keberhasilan jika diterapkan di Asia Tenggara. Sebabnya ialah, Asia Tenggara telah menjadikan pembauran aktivitas dalam permukiman kota sebagai tradisi selama beberapa generasi.
Aktivitas komersial dan residensial yang hidup berdampingan biasanya berlangsung di gedung yang sama - ruko, dan dapat ditemui di wilayah permukiman perkotaan yang jauh lebih tua dan tradisional di berbagai daerah di Asia Tenggara. Di wilayah-wilayah semacam itu, lingkungan ruko meskipun tampak ramai, tetap merupakan lingkungan yang hidup dan memberikan karakter khas bagi kota di kawasan tersebut.
Ruko milik etnis Tionghoa telah menjadi unit dasar dari struktur perkotaan di kota-kota besar Asia Tenggara. Meskipun terdapat beberapa varian dan versi, ruko khas Tionghoa pada dasarnya adalah sebuah bangunan berstruktur panjang setinggi dua hingga tiga lantai dengan bagian depan jalan yang sempit.

Lantai dasar dipergunakan sebagai aktivitas komersial seperti toko, industri ringan atau bisnis jasa seperti laundry, bengkel, dll. Terkadang terdapat lebih dari satu bisnis yang saling berbagi ruang di lantai dasar ini. Pada beberapa varian ruko, bagian untuk hunian berada di belakang ruko. Tempat tinggal yang terkadang berisi beberapa keluarga atau individu seringkali ditempatkan di lantai atas. Di lantai atas ini para penghuninya dipaksa untuk saling berbagi fasilitas seperti dapur dan kamar mandi. Sementara itu, bagian depan toko lantai dasar akan dipisahkan dari jalan dengan ruang tertutup yang dikenal sebagai beranda berarsitektur arcade.
Pembangunan ruko dilaksanakan dengan model barisan dan saling berbagi dinding di antara mereka. Lewat model ini, beranda tertutup di depan ruko dapat menjadi trotoar tertutup. Deretan ruko yang seragam akan dipecah secara berkala oleh persimpangan jalan ataupun gang.
Di Asia Tenggara, ruko menawarkan model kehidupan perkotaan yang terintegrasi lewat penggabungan aktivitas hunian dan perdagangan serta berfungsi pula sebagai bangunan ramah pejalan kaki yang cocok untuk kehidupan perkotaan di daerah tropis.
Keberadaan beranda tertutup membantu melindungi pejalan kaki dari hujan dan terik matahari sembari berbelanja, mampir untuk minum, ataupun sekadar bertemu teman. Ruko tradisional yang ramah pejalan kaki ini selaras dengan gerakan New Urbanism yang menganjurkan pembangunan berorientasi ramah pejalan kaki. Ruko Asia Tenggara juga membantu interaksi sosial budaya masyarakat lewat kemampuannya dalam mengakomodasi dan memungkinkan koeksistensi dari berbagai jenis orang.
Ruko tradisional terbilang fleksibel dalam urusan penambahan atau modifikasi ruang. Fleksibilitas yang dimilikinya tersebut membuat ruko cocok untuk dijadikan jenis bangunan berkelanjutan yang mampu beradaptasi seiring dengan perubahan kebutuhan keluarga atau masyarakat.
Di luar masalah fleksibilitas, ruko juga memungkinkan kontrol yang besar kepada pemiliknya. Perancangan ruko menggunakan cara yang mirip dengan struktur tradisional bertingkat rendah hingga menengah akan memberi penghuni kontrol yang besar. Kontrol tersebut berupa produksi dan pemeliharaan bangunan yang memungkinkan lebih banyak ruang untuk mengakomodasi kebutuhan individu.
Pada akhirnya, ruko tradisional dapat menjadi solusi cerdas dalam mengatasi masalah perkotaan modern di kota tropis Asia Tenggara dan tempat lainnya. Pengkajian ulang atas arsitektur tradisional seperti ruko yang diintegrasikan dengan teknologi modern semacam sistem energi ramah lingkungan, daur ulang air limbah, pengelolaan air hujan, dll., diyakini dapat menghasilkan lingkungan perkotaan yang lebih baik dan penghuni yang sehat serta nyaman beraktivitas di kota.
Jika kota sering disebut sebagai salah satu pencapaian terbesar umat manusia, maka ruko sebagai tipe bangunan perkotaan serba guna saya rasa juga dapat dimasukkan dalam pencapaian tersebut.
Pengkajian ulang atas ruko tradisional Asia Tenggara diiringi adaptasi cerdas dari atributnya menawarkan harapan untuk warga kota dan perumahan perkotaan yang berkelanjutan secara sosial, budaya, lingkungan, dan ekonomi.
Referensi:
Anggraini, L. D. (2012). Spatial Arrangement in Chinese and Javanese Shop House in Yogyakarta City. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 36, 557–564. https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2012.03.061
Aranha, J. (2013). The southeast asian shophouse as a model for sustainable urban environments. International Journal of Design & Nature and Ecodynamics, 8(4), 325–335. https://doi.org/10.2495/DNE-V8-N4-325-335
Davis, H. (2012). Living over the store: Architecture and local urban life. Routledge.
Kusno, A. (2016). Visual cultures of the ethnic Chinese in Indonesia. Rowman & Littlefield International.
Abeyasekere, S. (2011). Jakarta: Sejarah 400 tahun. Masup Jakarta.
Wade, G. (2009). An Early Age of Commerce in Southeast Asia, 900–1300 CE. Journal of Southeast Asian Studies, 40(2), 221–265. https://doi.org/10.1017/S0022463409000149
Comentarios